menganalisis kumpulan puisi asmaradana
Penggunana
Metafora Waktu Malam dalam Kumpuan Puisi Asmaradana
Karya
Goenawan Mohamad
Anwar
EFendi
FBS
UNY
Dalam persektif waktu, pada dasamya perjalanan
kehidupan manusia yang hakiki berada pada bentangan waktu malam. Malam sebagai
deskripsi waktu menampilkan segala sesuatu yang tak terduga dan tidak terbaca.
Hal itu dapat dihubungkan dengan lingkaran perjalanan kehidupan manusia di
dunia.
Puisi Goenawan Mohamad yang ada pada kumpulan puisi
Asmaradana tampak dominan penggunaan kata malam. Teeuw (1993: 118) mencatat
terdapat 50 kata malam, pagi (21), dan musim (16).
Penggunaan simbol waktu malam diperkuat dengan pemakaian 318 kata
gelap dan 123 kata kelam. Pada sisi lain, bentuk simbolik malam
juga sering digunakan sebagai judul. Misalnya, “Tuhan, Selamat Malam”, “Lagu
Pekerja Malam”, “Perjalanan Malam”, dan “Malam yang Susut Kelabu”.
Pada bait
kedua puisi “Expatriate” penggunaan simbol malam menjadi bagian penting dan
makna puisi.
....
Detik-detik bening
memutih tengah malam
ketika lembar-lembar asing
terlepas dari buku harian....
(Puisi “Expatriate”)
Dari berbagai kemungkinan yang ada, kata malam pada
puisi “Expatriate” secara implisit merupakan bentuk pengiasan dari rahasia atau
misteri. Penggunaan kata malam yang
mengandung pengertian rahasia atau misteri tersebut dikaitkan dengan
kedekatan ciri semantik malam yang dapat digunakan untuk mewakili gelap.
Pada sisi lain, apa yang disebut misteri atau rahasia juga dapat
dihubungkan dengan ‘sesuatu yang gelap’.
Realitas menunjukkan bahwa manusia tidak berdaya
berhadapan dengan putaran waktu. Manusia tidak dapat mengetahui apa yang akan
terjadi nanti dalam hitungan satuan waktu. Dalam perjalanan hidupnya, manusia
tidak mampu menggambarkan apa yang akan terjadi pada satu tahun, satu bulan,
satu minggu, dan satu hari yang akan datang. Bahkan, untuk menyebutkan apa yang
akan terjadi satu menit atau satu detik waktu mendatang, manusia tidak mampu
melakukannya. Hal itulah yang menegaskan bahwa hidup itu hakikatnya adalah
malam.
Masih bercerita tentang realitas “malam” sebagai
gambaran hakiki kehidupan manusia, dalam puisi “Meditasi”, Goenawan melukiskan
ketakberdayaan manusia. Hal itu tampak pada penggalan puisi “Meditasi” berikut
ini.
Berikan pula kami antara dia ini
Percakapan tiada sedih. Hanyalah malam
Yang makin tebal bila larut. Hanyalah lengang
Yang terentang di ruang kusut
(Puisi “Meditasi”)
Desksripsi waktu, khususnya waktu malam, digunakan
secara tepat oleh Goenawan untuk menandai perjalanan waktu manusia. Bagaimanapun
dan apa pun yang dilakukan manusia, pada saatnya nanti pasti sampai di ujung
waktu, yakni kematian, seperti tergambar pada kutipan puisi di bawah ini.
Di udara
dingin proses
pun mulai: malam membereskan daun-daun
menyiapkan
ranjang mati
hari akan
melengkapkan tahun
sebelum
akhirnya pergi
(Puisi “Kwatrin Musim Gugur (1)”)
Secara kodrati manusia selalu berada di antara waktu
awal dan waktu akhir. Waktu awal menegaskan proses dari tidak ada menjadi ada
(kelahiran). Selanjutnya waktu akhir menjelaskan dari ada menjadi tidak ada
kembali (kematian). Di antara dua waktu utama tersebut terdapat waktu malam,
waktu senja, waktu subuh dan deskripsi waktu lainnya yang menjadi
bagian catatan perjalanan hidup manusia. Semua deskripsi waktu tersebut selalu
bermakna bagi manusia baik secara personal maupun sosial.
Esensi waktu sebagai sesuatu yang menandai hakikat
dan eksistensi manusia menjadi aspek yang perlu dicermati pada puisi-puisi Goenawan
Mohamad. Pentingnya aspek waktu tampak pada proses simbol-simbol waktu yang
dihadirkan menjadi gagasan yang konkret. Hal itu pada penggunaan kata satuan
waktu, rentangan waktu, dan proses perjalanan waktu.
Sajak yang berjudul “Meditasi” menampilkan aspek
waktu dihubungkan dengan keberadaan manusia secara hakiki. Puisi “Meditasi” diawali
dengan sebuah pernyataan filosofis tentang rentangan waktu yang dialami
manusia, --dalam tiga waktu/ apa lagikah yang mesti diucapkan dalam gaung
waktu bersahutan? Upaya pemahaman terhadap puisi “Meditasi” dapat diawali dengan
mengurai rangkaian waktu yang disebut dalam tiga rujukan.
Pertama,
penyebutan waktu senja: sajak yang melambaikan tangan, terbuka/ dan bicara
dengan senja di atas cakrawala. Waktu bagian kedua merujuk waktu
malam, ditandai dengan hadirnya simbol langit dan bintang: bila langit pun
kosong, dan berserakan bintang mengisinya. Selanjutnya, bagian ketiga sebagai
akhir dan rentangan waktu menampilkan simbol matahari, sebagai penanda siang, memusat
matahari di bumi siang/ terpukau air kemarau, rumputan kering dipadang-padang (Teeuw,
1993:119).
Berdasarkan deskripsi di atas dapat disimpulkan
bahwa esensi waktu yang dihadirkan dalam puisi “Meditasi” mencakup rentang waktu
senja -- malam -- siang hari. Manusia pada prinsipnya selalu hidup dalam
waktu antara, pada waktu malam. Malam adalah waktu kehidupan berlangsung.
Kehidupan dalam pengertian manusia sebagai individu berhubungan dengan sang Pencipta.
Dalam bagian waktu kedua, yakni waktu malam, timbul pertanyaan
dalam diri manusia: apakah segala hal yang terjadi tidak harus digelisahkan?
Dalam waktu malam, sajak ini mendeskripsikan
kegiatan yang perlu dilakukan manusia dalam relasinya dengan Tuhan. Sebab Tuhan
jualah arah singgah manusia jika usia sudah sampai waktunya.
Sebab engkaulah arah singgah
yang penuh
penjuru
seperti bumi,
hati, dan mungkin puisi
yang berkata
lewat sepi, lewat usia kepadaku.
Waktu bagian kedua, yakni malam memberikan penegasan pentingnya manusia untuk selalu berdoa,
agar Tuhan berkenan menganugrahkan kenikmatan. Dengan berkat Tuhan, tanah dan
bumi sebagai tempat manusia berada seharusnya dalam keadaan diam dalam damai
dan bicara “dalam selaksa warna-warni”.
Dalam puisi “Riwayat” sejak awal Goenawan menyebut
dengan jelas rentangan waktu perjalanan hidup manusia. Proses perjalanan hidup
manusia menuju pada titik keabadian, dari anak menjadi tua lalu mati, seperti laut
yang kian perlahan, kian perlahan. Penggalan puisi di
bawah
ini menampilkan secara jelas fenomena tersebut.
Gelitikkan, musim, panasmu ke usiaku
bersama matari. Dari jauh
bumi tertidur oleh nafasmu, dan oleh
daun
yang amat rimbun dan amat teduh
Dan seperti mimpi
laut kian perlahan
kian perlahan
.....
(Matra aneh. Ketika ia mati musim belum
lagi mati
Ketika ia ditanamkan, bunga tumbuh di
pusat makam
Dan ketika ia dilupakan matahari
berkata pelan: sayang, memang sayang)
(Puisi “Riwayat”)
Eksistensi manusia dalam waktu antara, waktu
kesementaraan, merupakan tema yang banyak ditampilkan dalam puisi-puisi
Goenawan Mohammad. Pada dasarya kehidupan manusa selalu dalam keadaan rawan dan
kritis karena selalu terancam oleh hadirnya maut dalam bentuk apa pun. Pada akhirnya harus disadari bahwa waktu
itu adalah misteri atau mungkin sekadar ilusi, bahkan mitos. Artinya, waktu itu
sendiri sebenarnya tidak mengandung makna apapun, di luar makna yang diberikan
oleh manusia. Nilai sejati waktu hanyalah bahwa waktu itu harus diisi dengan
perbuatan mulia oleh orang yang masih hidup.
Secara kodrati manusia selalu berada di antara waktu
awal dan waktu akhir. Waktu awal menegaskan proses dari tidak ada
menjadi ada (kelahiran), selanjutnya waktu akhir menjelaskan dari ada menjadi tidak
ada kembali (kematian). Di antara dua waktu utama tersebut terdapat waktu malam, waktu senja, waktu subuh dan
deskripsi waktu lainnya yang menjadi bagian catatan perjalanan hidup manusia.
Semua deskripsi waktu tersebut selalu bermakna bagi manusia, baik secara personal
maupun sosial.
Puisi-puisi Goenawan memiliki karakteristik yang
menarik terutama pada penggunaan simbol-simbol metaforis, khususnya tentang
waktu. Di samping itu, keistimewaan pilihan tematiknya menyangkut manusia dalam
bingkai perjalanan waktu menjadikan puisinya dapat berbicara banyak hal. Rawan
dan gentingnya eksistensi manusia dalam waktu antara kesementaraan dan
keabadian merupakan tema-tema yang dominan dalam puisi-puisi Goenawan Moehamad.
Komentar
Posting Komentar